In BOOK I'VE READ

DAY 26 of Quarantine. I'll Go to You When the Weather is Nice by Le Do Woo



Sudah 26 hari saya tidak pergi ke mana-mana. Kegiatan bekerja semuanya dilakukan dari rumah. Saya juga membatalkan tiket kereta ke kampung halaman demi menaati himbauan pemerintah untuk tidak mudik. Terkadang saya memasak makanan saya sendiri atau memesan melalui layanan online pesan antar makanan. Sebisa mungkin saya selalu meminimalisir alasan untuk berpergian ke luar rumah. Saya harap situasi segera membaik dan masa pagebluk ini segera berakhir.

Tepat di hari keduapuluh enam ini juga saya berhasil selesai membaca sebuah buku. Ya, butuh 26 hari lamanya untuk menamatkan novel romance terjemahan karya Lee Do Woo ini. Kecepatan membaca yang masih sangat lambat dan perlu diasah terus. Mulai saat ini saya akan berkomitmen untuk lebih banyak membaca buku, dan menulis kesannya pada ruangan labirin ini.


Latar novel I'll Go to You When the Weather is Nice ini bertempat di sebuah kota fiktif hasil imajinasi penulis, Kota Hyecheon dan sebuah desa bernama Desa Bukhyeon. Sebelumnya saya memang senang membaca novel terjemahan korea sejenis karena rasanya hanya dengan membaca dapat seperti menonton sebuah drama yang sedang tayang. Beruntung sekali, kabarnya novel ini sudah terlanjur bestseller di Korea, dan dramanya juga sedang on going tayang. Dramanya berjudul When the Weather is Nice dan diperankan oleh Park Min Young, Seo Kang Joon, dan Le Jae Wook. Bagian tersenang dari membaca buku ini adalah saya dapat mendapatkan konfirmasi dari imajinasi hasil membaca buku ini. Hodu House, Toko Buku Goodnight, Desa Bukhyeon, marshmallow yang ada di ladang yang disebut gonpho, yang saya bayangkan selama ini dapat saya lihat langsung di layar kaca dalam drama yang tayang. 

Seperti genre-nya, buku ini banyak menceritakan tentang kisah cinta antara Haewon dan Eunseob. Haewon adalah seorang gadis perantau di Seoul yang kembali ke desa asalnya pada musim dingin. Sebenarnya Haewon lahir dan besar sebentar di Seoul, tapi karena suatu insiden dia harus tinggal di Desa Bukhyeon sejak SMA. Sampai awal masuk kuliah, dia pergi lagi ke Seoul hingga lulus dan mendapatkan pekerjaan.

Alasan Haewon kembali ke kampung halamannya lebih lama pada musim dingin kali ini adalah karena dia merasa hidupnya di Seoul benar-benar sedang berantakan. Dia mendapatkan kesusahan di tempat kerjanya sebagai guru seni suatu rumah belajar/bimbel dan memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanya itu. Haewon seperti kehilangan rasa percaya dirinya dan pikirannya selalu berkecamuk. Dia pulang dan merasa seperti sedang lari dari kenyataan yang ada.

Saat tinggal selama musim dingin di Bukhyeon, banyak kejadian tak terduga yang Haewon alami. Gelombang musim dingin yang sangat parah bertiup pada musim kali ini membuat Haewon menemukan banyak kehangatan di kampung halamannya. Bertemu dengan teman-teman lama sewaktu di SMA. Bekerja paruh waktu di toko buku pedesaan dan berkenalan dengan anggota klub buku yang luar biasa. Mendapat pengakuan cinta secara tiba-tiba dan menjalin hubungan. Mendengarkan cerita-cerita luar biasa dari para anggota klub buku. Meluruskan kesalahpahaman dengan sahabat dekatnya, Boyoung. Naik gunung di musim dingin bersama Eunseoub dan melalui sebuah makam dengan penanda kayu serta sebuah pondok di atas gunung. Menghidupkan kembali penginapan Hodu House milik bibinya yang telah setahun ditutup. 

Kesibukan yang dialami Haewon berhasil mengalihkan pikirannya yang berkecamuk. Dia mulai menemukan alasan untuk tinggal lebih lama hingga pada suatu hari diawali dengan kenyataan bahwa bibinya sedang sakit parah, sebuah rahasia besar terkait insiden yang membuatnya harus pindah dari Seoul dimasa silam terkuak. Haewon merasa marah, sedih, dan kecewa secara bersamaan sehingga saat musim dingin berakhir dia memutuskan kembali lagi ke Seoul. Dia mengatakan akan kembali lagi dan bertemu dengan bibinya saat cuaca sudah lebih membaik. Haewon belum siap dengan kejujuran yang dia terima dari bibinya. Haewon perlu waktu. 

Saat kembali ke Seoul, Haewon membuka awal yang baru. Dia menggadaikan seluruh uang deposit  apartemennya untuk menyewa sebuah ruko dan membuka studio belajar seni sendiri. Dia mengajak rekan-rekannya untuk mengajar bersamanya. Sampai musim semi tiba, Haewon telah berhasil mengumpulkan sedikit ketenangan untuk menemui bibinya dan juga pastinya Eunseoub. Haewon merindukan kekasihnya, Eunseob. 

Saat membaca buku ini, saya merasa sangat tersentuh dengan ceritanya. Seorang perantau yang menyerah dan kembali ke kampung halamannya. Saya bisa ikut merasakan bagian tersulit Haewon saat hidup di kota yang asing tanpa keluarga. Di sisi lain saya juga merasa iri dengan Haewon karena saat dia kembali ke kampung halaman, ada cinta yang menantinya, yang sebelumnya tidak pernah dibayangkannya. Eunseob sudah memperhatikan Haewon sejak hari pertama gadis itu memperkenalkan diri sebagai murid pindahan di SMA. Bahkan saat Haewon ingin mengakhiri hidupnya karena insiden yang meyakitkan, Eunseob tetap terikat dengannya. Haewon yang masih belia tidak menyadari kehadiran Eunsebo, namun Tuhan baru mendekatkan mereka sepuluh tahun kemudian, saat Haewon sedang ada di titik terendahnya. 


Selain itu saya senang sekali membayangkan kehidupan tanpa ambisi sengit yang ada di pedesaan Bukhyeon. Toko Buku Goodnight yang dikelola oleh Eunseob, yang penuh dengan kehangatan, yang sampai sekarang masih saya cerna bagaimana aliran pemasukan dan pengeluraannya tetap stabil sehingga membuat toko buku tersebut hidup meski berada di pedesaan. Serta anggota klub toko buku yang membuktikan bahwa siapapun dengan usia berapapun tetap bisa berteman akrab jika memiliki minat yang sama. Seungho, Kakek Seungho, Bibi Sungjeong, Lee Jangwoo, Hyujin, Hyojin, kalian seperti menemani saya dalam masa-masa karantina karena Covid-19 ini. Good Night Club juga telah berhasil mengubah cara pandang saya terhadap buku. Bisa dibilang karena mereka saya bisa tergerak untuk menulis ulasan pada blog seperti ini. Terima kasih benar-benar saya ucapkan kepada penulis. 


Saya mengikuti preorder saat novel terjemahan ini baru saja dirilis dan mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan edisi buku yang bertanda tangan Lee Do Woo. Saya harap saya bisa membaca buku selanjutnya dari Anda. 


Terima kasih sudah membaca kesan pesan saya terhadap buku ini. Saya adalah tipe orang yang jarang membaca buku secara berulang-ulang. Ulasan ini saya buat agar saya tidak sembarangan dalam membaca buku, mengingatnya sebentar, lalu kemudia melupakannya. Setidakya ada suatu hal yang saya ingat tentang buku ini yang saya tinggalkan jejaknya di sini. Salam Literasi!

Related Articles

0 comments:

Posting Komentar