Rasanya baru kemarin malam dia merasa syok, seolah tidak percaya kenyataan akan datang mengampirinya seperti ini. Akhirnya, sampailah dia ke detik ini, saat di mana dia mulai meyakinkan diri, meneguhkan pendiriannya. Toh hanya sekedar bertemu sembari bertanya kabar, apa salahnya.
Setelah
memakai foundation, cushion, dan mengoleskan eye shadow coklat pada kelompak matanya, dia memoles bibir tipisnya dengan NYX mary janes yang membuatnya tampak merah
ranum. Memperlihatkan kesan bibir yang nakal. Benar-benar merah. Kali
ini saja, ia ingin berdandan dengan
benar.
Dipakainya
sebuah dress hitam yang elegan , yang
dibeli dari hasil menabung selama empat kali uang gaji. Dress 10 cm di atas
lutut yang mengeskpos kulit mulus punggunggnya, yang lengannya berenda bunga
dan transparan. Dicepol rambut coklatnya yang panjang hingga pundak putih penuh
bulunya nampak. Tak lupa memakai wedges
hitam, wedges yang sama sekali tak
sebanding dengan dress yang
dikenakannya. Wedges yang hanya berasal dari ruko-ruko pertokoan pasar. Tapi
entahlah, baginya wedges itu adalah
syarat, ibarat undangan pertemuan wedges
itu undangannya. Apakah orang itu akan mengingat wedges ini? Dengan menenteng clutch nya dia mantap pergi.
Dari
dalam taksi pikirannya melayang. Dia berharap terus seperti itu sampai nanti,
sampai raganya saja yang sampai dan bertemu orang itu. Sungguh rasanya baru
kemarin malam dia membuka kembali email
lamanya. Tidak ada angin, hujan, apalagi badai, tiba-tiba saja. Dengan alibi
‘sudah lama tak bertemu’, email yang
sebenarnya sudah cukup lama bersarang di inboxnya
itu pun dibaca dengan santai. Tanpa menoreh kembali ke belakang, dengan
mudahnya dia mendeklarasikan persetujuan. Persetujuan yang di belakangnya
terselip secuil ‘rindu’.
Resah
hatinya. Dia ingin kembali saja pulang meminta sang supir putar balik , tapi
sayangnya malam itu Casablanca macet parah. Sementara 2 kali lampu lalu lintas
lagi, dia sampai ke tujuannya. “Ayo kita
makan malam dan setelah itu temani aku mengunjungi pernikahan sahabatku” .
Dia menimang-nimang lagi kata-kata dalam email
itu, salahkah jika iya mengiyakan, salahkah jika dia berdandan seperti ini,
salahkah jika dia gugup padahal dahulu sekali kentut di depan orang itu saja
tidak masalah.
“Permisi kak, sudah ada reservasi sebelumnya kah? Kami belum ada meja kosong untuk tanpa reservasi”
“Permisi kak, sudah ada reservasi sebelumnya kah? Kami belum ada meja kosong untuk tanpa reservasi”
“Kayaknya udah si mas, temen saya udah datang duluan”
“Wah pasti pacarnya mau kasih surprise nih ya kak, habisnya dateng duluan”
“Pacar
apaan mas. Jangan sembarangan!”
Entahlah,
dibalik kata-kata yang mereprensentasikan marah itu sebenarnya dia senang,
sedih, atau malah gugupnya semakin menjadi-jadi. Dia memang makan di sebuah restoran berkonsep
“Sky Bar”, konon katanya restoran tertinggi di Jakarta, Henshin. Dari kejauhan Tania dapat melihat Steven beranjak dari duduknya melambai-lambaikan tangan.
“Hai
Tania”
Akhirnya.
Suara yang sudah empat tahun tak ia dengar itu kembali didengar. Tampak sosok
pemuda yang mengenakan batik sutra warna hijau bermotif burung merak. Masih sosok yang sama dengan yang selalu
dilihatnya di kelas saat kuliah dulu. Persis, caranya mengenakan batik, jam
tangan di tangan kanan, tangan kirinya yang kidal, dan senyumannya.
“Hai
Ven…
Udah
lama nunggunya? ”
“Iya
nih setengah jam an”.
“Sorry
tadi macet parah gila”.
“Duduk
gih. Lo gak kedinginan bajunya terbuka banget gitu?”
Laki-laki
itu dengan seksama memperhatikannya. Dari atas ke bawah. Seolah keheranan,
bertemu dengan sosok yang sama tapi nampak berbeda. That wedges too! He notice it.
Tania membalasnya dengan senyum.
“Gapapa
lagi. Eh pesen champagne dong biar melek dikit”
Seolah
merasa salah ucap, dia berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia sudah bertekad,
ini pertemuan yang terkahir. Setelah itu dia akan benar-benar mengakhiri
segalanya, entah itu harapan dan perasaannya. Dia semestinya tak perlu
menunjukkan keadaannya selama 4 tahun terakhir, buat apa, toh dia datang untuk
mengakhiri. Tapi, rasanya dia menjadi lepas kendali, seolah ingin menghakimi
lelaki itu atas keadaannya.
“Iya.
Gimana Seoul? Bukannya di sana udah budaya ya, minum soju”
“AH
soju. Apaan deh Tan, gua sekali negak langsung muntah. Gak bisa minum”
Laki-laki
itu tampak keheranan lagi. Sekarang wanita ini, dia peminum?
Dia
semakin hilang kendali. Terbesit pikiran nakal diotaknya. Dikeluarkannya bungkus
rokok yang menyisakan beberapa puntung miliknya. Sengaja. Demi lelaki itu tahu.
“Mau
Ven?”
“Gak!
Lo ngerokok?!”
Tatapan lelaki itu tajam. Masih sama seperti dulu, tatapan yang akan muncul ketika marah terhadapnya karena melakukan suatu perbuatan yang negatif. Dia tiba-tiba mengingat, betapa lelaki itu melarang dan memarahinya habis-habisan ketika dia mencoba untuk merokok bersama Levi, teman sekantor waktu internship dulu.
Lelaki
itu tampak kesal. Dia marah tapi menahannya karena masih awal pertemuan. Tania tanpa sadar menyunggingkan senyum kecil
liciknya.
Pada
akhirnya, tujuan Tania malam itu tercapai.
Membuat
Steven kesal.
To be continued. . .
To be continued. . .
Lanjutiiiiin pliiiis
BalasHapus