In CERPEN

Thank You, Next



"Thank you teams. Finally, we reached our target!", seru John sebagai project manager kali ini. Perusahaan e-commerce yang baru tahun lalu dinobatkan masuk ke dalam rentetan startup unicorn tanah air ini lagi-lagi mencoba untuk  melakukan ekspansi. Mereka mengadakan campaign "Give The Best To Your Woman" untuk memperingati Hari Ibu dan melakukan flash sale. Banyak target baru yang tercapai dari bertambahnya jumlah brand tergabung, naiknya tingkat rate customer acquisition, dan tentunya penjualan yang luar biasa.

"IT squad, Desain squad, Business-Marketing Squad, CS Squad, Finance Squad, and the others also orang-orang non-squad yang luar biasa, gue sama John ngucapain makasih banget. Tanpa kalian kita gak bisa sampai sejauh ini", kali ini Martin sang CEO yang berterimakasih.

"Oiya gua juga mau ngucapin thanks a lot buat anak-anak intern tangguh yang udah andil dalam project kali ini. Tian, Dani dari IT Squad, Agnes dari Finance, Ega, Damar, Nathalie dari Desain, dan Rendi dari Marketing. Semoga kalian dapet pengalaman super berharga lewat project ini", John menimpali Martin.

Acara dinner party di Senayan City itu banyak dibuka dengan ucapan-ucapan terima kasih dan apresiasi terhadap anggota tim. Project campaign ini sudah direncanakan sejak 3 bulan yang lalu, dan itu cukup membuat anggota tim harus mengeluarkan usaha yang lebih. Finally, malam ini project resmi berakhir.

Euforia berakhirnya project juga dirasakan oleh Fani. Dia sangat senang, akhirnya dia bisa pulang tepat waktu lagi untuk beberapa hari ke depan walau itu juga masih belum pasti. Bekerja di sebuah startup yang dikenal orang dengan budaya santainya justru tidak serta merta dengan beban kerjanya. Fani memang punya jam kerja flexible dan bisa ngantor memakai kaos ataupun jeans, atau setelan piyama sekalipun, tapi semua kenyamanan itu ada imbalannya, yaitu target pekerjaan yang besar. Sejak kuliah dulu impiannya memang bekerja di kantor yang kekinian seperti startup, tapi setelah  5 tahun terjebak di dalamnya, padangan Fani tentang dunia kerja adalah, "Semakin nyaman suatu kantor, maka semakin besar tekanannya". Okay, let's say Google. Parameter keberhasilan Google pasti sangat susah diraih jika kantornya saja senyaman itu. Itulah yang membuat Fani takut masuk ke Google, ya walaupun belum tentu dia memenuhi kualifikasi.

Dinner party itu dihadiri oleh 15 orang termasuk 7 anak magang dan digelar di Kintan, Senayan City. John sengaja memilih tempat yang tidak jauh dari kantor. Ini Jumat malam, pasti jalanan banyak yang macet dan John tahu pasti rekan-rekannya sudah cukup lelah untuk harus terjebak kemacetan. Rasanya dia ingin menghadiahkan Jumat malam yang indah yang diikuti akhir pekan penuh kedamaian keesokannya. 

Fani duduk di samping Adit, rekan satu divisinya, Desain Squad. Untuk project kali ini, John sengaja hanya mengambil dua orang dari Desain Squad yaitu Fani dan Adit untuk andil dalam project-nya karena anggota lainnya sudah memiliki project lain seperti Event Chrsitmas ataupun New Year Sale. Untuk memperingan beban kerja, Fani dan Adit pun dibantu 3 anak magang yaitu Ega, Damar, dan Nathalie. Fani dan Adit juga sepakat untuk pecah fokus di mana Adit lebih menangani teknis seperti tampilan front-end dan integrasi dengan IT Squad, sementara Fani menangani UI/UX prototyping dan penyatuan persepsi dengan vendor-vendor dibantu oleh Marketing Squad.

Makan malam hampir berakhir. Sebelum John menutup, dia mempersilakan anak-anak magang untuk speak-up kesan pesan mereka selama andil di project ini. John ingin mengevaluasi kepemimpinannya pada project ini dinilai dari kaca mata anak-anak magang. Ada total 7 anak magang. Semuanya berasal dari 3 kampus yang beberda di Jakarta. Dalam program magang kali ini memang ada yang spesial, yaitu salah satu dari 7 anak itu adalah artis atau lebih tepatnya mantan artis cilik, makanya John selalu antusias saat berurusan dengan anak magang. Dia adalah Rendi, anak magang Marketing Squad. Dia baru masuk kuliah saat umurnya 22 tahun, terbilang telat karena selepas SMA dia justru memulai bisnis sambil sesekali menerima obyekan artis. Sekarang dia telah ditahun keempat perkuliahan dan sedang mempersiapkan skripsinya. Dia dari jurusan Manajemen. Mantan artis cilik yang dulunya imut kini sudah berubah jadi lelaki dewasa yang tampan. Tak jarang Rendi sering menarik perhatian perempuan di perusahaan. 

Kesan pesan dimulai dari Agnes, Tian, Dani, dan lain-lainnya, dan tentu sengaja dipaling akhir adalah Rendi. Meski John adalah straight guy, dia tetap tidak bisa menghindar untuk tidak terkesima kepada Rendi. Bukan karena parasnya yang tampan, tapi lebih ke kinerjanya sebagai anak magang. Bisa dibilang, Rendi sangat ulet sekali mengerjakan pekerjaannya. Bagian kerjanya mengharuskannya untuk banyak berinteraksi dengan pihak luar seperti customer / vendor, dan Rendi sangat capable untuk itu. Backgorund-nya sebagai public figure sangat memberikan nilai tambah yang membuat John sangat apresiatif kepada Rendi. Selain itu, Rendi yang sudah berumur 26 tahun dan notabenenya paling tua diantara keenam anak magang lainnya sangat down to earth. Dia tidak menganggap dirinya lebih tua dan cenderung senioritas. Dia sangat ramah dan berhasil membentuk atmosfer yang solid antara sesama anak magang. 

"Thank you Kak John. Gua seneng banget bisa intern di perusahaan ini dan lebih-lebih andil dalam project ini. Marketing Squad hampir ngerecokin semua squad yang ada, dari mulai IT, Finance, dan Desain karena kita memerantarain customer ke perusahaan dan gua juga jadi tahu kalo koordinasi antara tim itu penting banget sampe kadang penuh drama. Buat Tim Desain spesial Fani, gua minta maaf banget yaa, gara-gara request gua, lo jadi kelabakan, IT Squad juga", kesan pesan Rendi. Seketika seluruh mata tertuju kepada Fani, dan Fani pun hanya bisa memandang Rendi dengan tatapan tajamnya yang seolah mengatakan, Oh shit! Why he called my name.

Semua anggota tim project memang nyaman dan kagum terhadap Rendi, tapi tidak berlaku bagi Fani. Dia biasa-biasa saja dengan kehadiran Rendi, atau bahkan malah merasa terganggu. Dia jadi melakuakan flashback sekilas ke belakang. Saat itu sudah H-2 minggu sebelum flash sale, dengan tiba-tiba Rendi datang ke ruangannya panik dan memberitahukan bahwa ada salah satu vendor yang menolak untuk berpartisipasi karena menurut mereka preferensi fitur dan desain tampilan (UI/UX) tidak cocok dengan produk milik mereka. Setelah dirapatkan ternyata vendor tersebut merupakan vendor salah satu clothing line yang terkemuka dan tidak mungkin dilepas oleh perusahaan. Alhasil Tim Desain pun bekerja sangat keras untuk membentuk desain baru yang selanjutnya dioper ke Tim IT. Banyak perubahan yang terjadi, Fani saja sampai rela menginap di kantor selama 2 hari. 

Semua anggota tim masih mengingat kejadian itu. Ketika Fani marah-marah ke semua divisi. Akan tetapi, bila dilihat kembali, sebenernya itu bukanlah kesalahan Rendi, hanya saja yang membuat Fani kesal dan menciptakan drama pertengkaran antara Marketing Squad dan Desain Squad juga dimeriahkan oleh IT Squad adalah ketika desain baru yang telah dibuat Fani dan tim selama lembur berhari-hari di kantor masuk ke bagian IT, vendor tersebut baru mengatakan bahwa mereka mau berpartisipasi terlepas dari masalah fitur dan tampilan e-commerce perusahaan. Sudah berusaha keras untuk mengubah dan ternyata perubahan itu tidak terlalu dibutuhkan. Alhasil Tim IT tetap mengubah sesuai dengan rancangan desain baru dari Tim Desain. John tidak memperbesar masalah ini karena dia paham betul karakteristik dari vendor tersebut memang sering berubah-ubah. Kerugian waktu dan biaya untuk merubah desain tersebut toh sudah tertutup dengan tingkat keberhasilan project yang jauh di luar dugaan.

Coba saja Rendi lebih memanfaatkan ketenarannya sebagai public figure untuk bernegosisasi, penyesalan Fani yang masih dibawa-bawa hingga saat ini. 

Fani pun ikut berdiri seperti Rendi. 
"Kok John dipanggil 'Kak', kok gue gak?"

Tatapan orang-orang mulai khawatir, apakah Fani akan menyulut api pertengkaran seperti yang lalu-lalu di hadapan Rendi lagi. Tentunya, mereka mengkhawatirkan Rendi.

"Kan kita sebaya..... hehe", Rendi mengucap sambil menggaruk-garuk kepalanya menandakan adrenalinnya sedikit naik melihat raut wajah Fani.

Sebaya dari mana. Gue lahir taun 91, dia 92. Gue udah bisa jalan dia baru guling-guling. Batin Fani seraya menghembuskan nafas dalam-dalam.

"Ok  I see. Makasih juga yaa Rendi buat pengalaman tak terlupakannya. Gue jadi bisa ngerasain kasurnya Tim IT karena gue ikutan lembur bareng mereka di kantor", Fani tersenyum penuh sindiran.

"Eh serius Fan, gue minta maaf.. Gue kasih voucher body message langganan gue ya?", Rendi masih merasa bersalah.

Fani ingin menyunggingkan senyumnya tapi dia tahan, ternyata dari sekian lama anak itu magang  di kantornya baru kali ini Fani merasa anak itu tampan, yaitu ketika dia merasa bersalah. 

"Kaga usah. Bercanda woy. Gini-gini gue profesional, marah karena kerjaan doang. Dah damai yak", akhirnya Fani tidak berhasil menahan tawanya. Dia tertawa melihat reaksi Rendi. 

Semua orang yang ada di situ, yang sedari tadi memperhatikan percakapan antara dua pihak yang berpeluang untuk memicu pertengkaran akhirnya merasa lega dan ikut-ikutan tetawa. Begitu juga  Rendi.

Akhirnya acara dinner party selesai jam 8.20 malam. Semuanya langsung ingin pulang karena merasa lelah dan kekenyangan. Tadinya Fani ingin nebeng mobil Adit untuk pulang karena searah, tapi Fani memutuskan untuk jalan-jalan sebentar keliling Mall. Dia ingin cuci mata dan mungkin berbelanja. Memanjakan diri sendiri setelah beberapa waktu yang lalu dieksploitasi untuk bekerja.

Fani pun berjalan keluar dari Kintan. Tanpa disadari dibelakangnya Rendi ikut berjalan. Rendi juga tidak ingin terburu-buru pulang, rumahnya kosong. Ayah, Ibu, dan adik-adiknya sudah terbang ke Surabaya untuk memeringati natal sementara dia baru menyusul lusa karena masalah pekerjaannya.  

"Woy Fan!", panggil Rendi dengan sedikit berlari mengejar Fani yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya.

"Ngapain lo ngikutin? Gak pulang?"

"Pengin jalan-jalan dulu dah di keramaian. Di rumah gak ada siapa-siapa bokap nyokap pergi semua, ke luar kota"

"Ohhh", Fani berjalan meninggalkan Rendi. Dia masuk ke salah satu toko pakaian.

Rendi pun mengejar Fani dan ikut masuk ke toko pakaian. "Kok gua ditinggalin sih?" 

"Lah emang kita lagi jalan bareng? Gak kan?"

"Ya ga gitu juga. Tapi jalannya bareng-bareng dong biar gua ga kaya orang ilang"

Fani tertawa. Dia lupa kalo Rendi itu sebenarnya public figure. Jalan-jalan di Mall sendirian pasti berbahaya baginya. Tapi, kalo dia jalan-jalan berdua dengan Rendi yang ada justru dirinya yang berada dalam bahaya. 

"EH. Ini bagus deh buat lo Fan. Warnanya cerah", Rendi mengangkat hanger baju di rak yang sedang dipilih-pilih oleh Fani.

Oh Shit ni anak bisa baca selera gue apa gimana. Baru aja mau gue ambil, udah diambilin aja dulu. Batin Fani.

"Ah gajadi belanja ah. Gue paling gasuka dipilih-pilihin gini. Keluar aja yuk", Fani menarik paksa keluar Rendi. 

"Eh kok marah lagi. Gue bantu pilihin doang lho itu, random doang"

"Iya gapapa, ga marah.. Gue bingung aja milih" 

"Ohhhh"

Mereka pun berjalan mengitari Mall tanpa arah dan tujuan. Sesekali tatapan orang mengarah ke mereka, entah orang tersebut mengenali Rendi atau tidak. Dua-duanya saling terdiam. Mereka turun ke lantai bawah dan tepat di depan bioskop, ada papan now playing "Aquaman". Mata Fani melotot bahagia. Dia suka sekali serial film superhero entah itu besutan Marvel atau  DC.

"Lo pulang duluan deh sana. Apa jalan-jalan sendiri aja. Gue mau nonton. Mumpung filmnya masih ditayangin nih di bisokop"

"Nonton apaan?"

"Aquaman. Udah lama banget rilis nih baru sempet nonton sekarang gara-gara flash sale.

"Emang gak capek? Kenapa ga besok aja Fan malem minggu?"

"Justru sekarang dicapek-capekin. Besok gue mau hibernasi gak keluar-keluar rumah. Dah ya byee"

"Eh tunggu! Gue ikutan dong!!"

Fani mengernyitkan alisnya. Dia akan menempatkan dirinya dalam bahaya yang lebih besar jika dia mengajak Rendi nonton bersamanya. Tapi melihat raut muka Rendi yang seolah-olah mengisyaratkan dia tidak bisa langsung pulang karena ketakutan di rumah sendirian membuat Fani merasa kasian. Siapa juga yang mau gosipin, kan jelas-jelas rekan kantor. Batin Fani. Akhirnya dia pun memberikan isyarat kepada Rendi, "Ya boleh".

Saat itu sudah cukup malam, jam 8.40 dan jadwal film yang masih tersedia adalah pukul 9. Fani paham betul naluri seorang lelaki yaitu dia akan kehilangan harga dirinya jika seorang wanita membayar tagihannya. Maka dari itu Fani tidak mau ikut campur. Dia sengaja mempersilakan Rendi untuk membeli tiket dan sebagai usaha menyetarakan dia beralih ke kios cemilan untuk membeli pop corn dan soft drink. 

Setelah mendapatkan tiket dan cemilan, mereka berdua masuk ke dalam studio. Awas aja ni kalo bangkunya deret ABC berarti dia cowok gak bener. Batin Fani sambil menatap Rendi dengan tajam. 

"Bangku D9 sama D10 Fan", ucap Rendi seolah tahu kekhawatiran Fani.

Okehlah, nyaris. Lagi-lagi Fani menggumam dalam hati. 

Mereka berdua duduk di kursinya masing-masing, Fani D10 dan Rendi D9. Teater bioskop terasa sepi, hanya ada mungkin belasan orang yang menonton karena film ini sudah ditayangkan cukup lama, hampir dari awal bulan. Kalau bukan karena kesibukkan, pasti Fani telah menonton film ini. 

"Lo ngikutin Marvel apa DC kan Ren?"

"Siapa di dunia ini yang gak ngikutin Marvel?"

"Ohh yaudah. Berarti gue gak salah ngajakin lo yaa", Fani merebahkan duduknya dengan nyaman.

Saat film akhirnya dimulai, tanpa disadari pikiran Fani justru melayang dan tidak fokus. Dia teringat kembali 6 tahun silam. Betapa dia bercita-cita ingin menonton film serial superhero favoritnya dengan orang itu. Orang itu yang sekarang entah kerja di mana dan jadi apa. Cinta diam-diamnya saat kuliah, yang tidak pernah terutarakan karena Fani percaya takdir Allah maha indah.

Di bangku D9, pikiran penghuninya pun ikutan melayang-layang. Dia teringat 4 tahun silam ketika kekasihnya Cassie diterima kuliah di luar negeri sementara dia hanya dapat kuliah di Jakarta karena harus meng-handle bisnisnya. Saat itu mereka sempat menjalani LDR, tapi akhirnya hubungan yang sudah berjalan 5 tahun itu kandas. Bukan salah jarak, tapi hanya hatinya saja yang tiba-tiba berhenti bergetar lagi saat melihat Cassie. Tuhan maha tahu hati terdalam manusia. Bisa jadi, hati yang tidak lagi mencinta itu diciptakan untuk membuat Rendi lebih menekuni karir pendidikannya, mengekspansi bisnisnya, sehingga akan benar-benar siap untuk wanitanya yang lain suatu saat nanti. Rendi sadar cinta itu bisa pudar dengan sendirinya meskipun dijaga dengan sangat baik.




To be continued. . .








Related Articles

0 comments:

Posting Komentar